Minggu, 09 Februari 2014

Di Pinggir Danau Ketika Senja Terakhir Itu



Kunang-kunang itu...
            Aku tak pernah bisa sekuat dia, yang rela menyalakan tubuhnya dikala malam menerobos waktunya. Aku tak pernah bisa setegar dia, yang tak pernah berhenti menerangi danau ini, ketika kegelapan membelenggunya. Yah. Danau ini kini menjadi tempat favoritku, sejak aku tahu mereka ada disana. Entah sudah berapa lama aku selalu datang ke danau ini. Ketika senja terakhir mulai menyapa sang bintang, ketika itu pula aku berlari menuju kawasan ini, dan mulai menikmati keindahan warna mereka. Kunang-kunang yang selalu membuat hatiku sedamai dirumah.
            Aku ingin kembali kerumah, kembali merasakan hangatnya pelukan Ibu dan mendengarkan segala ungkapan kata bijak dari ayah, aku merindukannya. Aku tahu ini semua memang salahku. Jika dulu aku tak pernah memaksa ayah untuk membelikannu sebuah mobil mewah, mungkin ayah tidak akan pernah terperosok kedalam lubang tikus yang menghantarkannya untuk mengambil jalan pintas agar aku bahagia. Ayahku korupsi, beliau mengambil beberapa jatah gaji bawahannya. Dulu ayahku bekerja sebagai kepala staf HRD di sebuah perusahaan besar di kota Surabaya. Tapi setelah kejadian itu, ayah dipecat dan dijebloskan kedalam penjara. Aku tak pernah tahu pasti berapa tahun hukumannya, mungkin sekitar 5 tahun penjara. Sedangkan ibu meninggal akibat serangan jantung mendadak ketika ketok palu dari sang hakim berbicara.

            Ini adalah tahun ke-4 setelah masa itu berlalu. Dan masa ini adalah masa dimana aku harus bertahan hidup sejak semua kesalahan itu terjadi. Masa yang mengharuskan aku pindah keluar kota dan mencari pekerjaan untuk menyambung hidupku sendiri, dan tinggal dikontrakan rumah susun kumuh, yang dulu aku sendiri tak pernah menyukai tempat-tempat seperti ini. Bekerja sebagai buruh cuci piring di salah satu restoran mahal dikota ini, Bandung. Yah, karena hanya pekerjaan itulah yang bisa aku kerjakan. Tapi mungkinkah aku harus melalui semua ini sampai mati...? Sungguh aku ingin pulang, dan memperbaiki kesalahan yang dulu pernah aku lakukan.
            Kini yang ada difikiranku hanyalah tentang rumah, tentang ayah, dan tentang almarhumah ibuku yang sedang melihatku dari surga.
            “Maafkan aku ayah, ibu, maafkan anakmu yang bodoh ini...”
Mataku mulai nanar, pandanganku mulai kabur karena timbunan air mata yang hampir tak mau menetes lagi dipipi. Mungkin sudah terlalu banyak air mata penyesalan yang sudah aku teteskan karena ini semua, hingga air mataku enggan meneteskannya lagi untukku.
Kuambil handphone dari tas kecil yang ada sebelahku dan mulai memandangi foto-foto kenangan paling manis yang pernah aku alami dalam hidupku. Kenangan apa lagi kalau bukan kenangan ketika masa Ayah dan Ibu masih memeluk hangat tubuhku. Kenangan ketika kami bertiga meninggalkan segala aktivitas kesibukan dan meluangkannya hanya untuk berkemah di tepi waduk didaerah Malang. Sederhana namun berhasil membuat aku ingin kembali kemasa itu lagi.
“Apa yang sedang kamu lakukan disini...?” Terdengar suara lelaki dari arah belakangku.
Perlahan lelaki itu mendekat kearahku, mengusik kesepian yang sedang aku buat sendiri. Dari kegelapan aku menerka-nerka siapakah lelaki yang sudah lancang mengganggu kesendirianku ini...? Beraninya mencuri perhatianku, ketika segala pusat perhatianku telah kuberikan untuk kenangan-kenangan indah masa laluku.
“Ini saya Deris.” Ucapnya sambil menyentrong wajahnya dengan lampu senter yang terdapat dari handphonenya.
Aku langsung kaget dan segera berdiri memberi salam penghormatanku kepadanya. Dia adalah kepala bagian dapur di restoran tempat aku bekerja. Umurnya baru 25 tahun, 1 tahun lebih tua dariku. Namun diumur yang masih muda itu Pak Deris sudah dipercaya oleh pemilik restoran untuk menjabat sebagai kepala bagian dapur disana.
“Maaf kalau saya lancang mengikuti kamu dari belakang Riana. Saya hanya penasaran dengan apa yang selalu kamu lakukan di danau yang sepi ini.”
“Apa yang bapak ingin tau dari saya..? toh saya hanyalah buruh tukang cuci di restoran itu.” Balas ucapanku yang selalu dingin terhadap orang lain yang tidak begitu aku kenal.
“Oh ternyata kunang-kunang ini yang menarikmu kesini. Ternyata indah juga yah, ketika kunang-kunang rela menerangi gelapnya danau dengan sinar yang ada didalam tubuhnya. Apa kedamaian seperti ini yang kamu cari..?”
Aku melirik sesekali kearah Pak Deris, dan sepertinya Pak Deris juga melakukan hal yang sama denganku ketika dia mulai memalingkan pembicaraannya.
“Apa yang sedang bapak lakukan..?” Sambil menoleh kearah Pak Deris
“Apa yang sedang kamu lakukan disini...?” Langsung duduk dipinggir danau tanpa menolehpun kearahku.
“Saya hanya ingin sendiri pak.” Membuntuti Pak Deris untuk duduk disebelahnya.
“Dan saya hanya ingin menemani kamu yang lagi sendirian.” Kali ini dia yang menoleh kearahku.
Bahkan ketika kami berdua duduk berdampingan, kesepian masih saja berhasil menguasai batinku. Aku membiarkan Pak Deris menemaniku, namun tetap saja kekosongan itu masih terasa membelengguku.
“Jadi apa yang kamu lakukan disini..?” Pak Deris mulai membuka pecakapan itu lagi.
“Hanya mengingat rumah.” Padanganku masih lurus kearah danau didepanku.
“Rumah...?”
Entah karena sebab apa aku mulai menceritakan semua kehidupanku kapadanya, tentang indahnya kebersamaan keluarga yang dulu pernah aku sia-siakan. Tentang cinta kedua orang tuaku dan tentang keegoisanku yang selalu meminta kesempurnaan. Dan tanpa pernah aku sadar, bahwa merekalah kesempurnaan kehidupanku waktu itu. Hingga sebuah kehancuran yang menjadi balasan atas apa yang pernah aku paksakan kepada kedua orang tuaku. Hanya penyesalan yang kini datang dan merajai di setiap hari pada hatiku.
Lalu hanya hembusan nafas besar yang aku dengar dari arah sebelah kananku.
“Tidak ada yang perlu kamu sesalkan atas apa yang pernah terjadi dalam hidupmu. Semua orang pernah melakukan kesalahan, semua orang pernah merasakan kehancuran atas apa yang dulu pernah ia lakukan. Tapi penyesalan hanya akan membuatmu semakin hancur.” Ucap Pak Deris yang mengagetkanku.
“Lalu apa yang harus saya lakukan..?”
“Memperbaiki apa yang kamu pikir harus kamu perbaiki.  Dan melanjutkan apa yang kamu pikir harus kamu lanjutkan Riana.” Lanjutnya.
“Bagaimana bisa...?”
“Tentang ibumu, doakan saja dia agar beliau bisa tenang disana. Tentang ayahmu, tunggu saja beliau sampai keluar dari penjara, kamu harus kembali dan bisa memperbaiki kesalahan-kesalahanmu dulu. Lalu jadilah seperti kunang-kunang itu...” Pak Deris menunjuk satu kunang-kunang yang terlihat paling terang diantara kunang-kunang yang lainnya.
Yah, tepat sekali. Kunang-kunang itu memang terlihat paling terang karena dia tidak berkumpul bersama kunang-kunang yang lainnya. Dia menyendiri, dan mencoba menyinari satu titik tergelap di danau ini. Mungkin seperti aku, yang sedang mencoba bangkit atas keterpurukan yang pernah aku buat sendiri. Kunang-kunang itu memang paling bersinar, tapi aku harus lebih bersinar untuk ayah yang sedang menunggu kebebasan, dan untuk ibu yang sudah terlanjur bahagia di surga Tuhan.

3 komentar:

  1. Keren.. Lnjutkan ceritanya!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. hohoho iya dhan...
      kasih inspirasi nah, biar aku bisa bikin cerpen lagi. :P

      Hapus
  2. Mungkin tentang kisah cinta dan persahabatan sejak dia kecil, tapi d ujung crita di saat mereka menyadari bahwa mereka saing mencintai dan saling mengungkapkan, tapi semua tlah sia sia karena salah satu dia antara mereka mengidap sebuah penyakit dan tak beberapa lama lagi dia meniggal. tapi dia tak mengatakannya jadi mereka melewati hari harinya seperti tak ada apa apa hingga saatnya tiba dia pergi berpisah darinya tanpa pemberitahuan apapun, tapi di meninggalkn sebuah surat yang yang mengatakan bahwa dia tlah bahagia karena bisa menghabiskan sisa hidupnya dengannya. ENDDDD

    EH kunjungi baliklah http://12amadhaniazhar1.blogspot.com/ kasih komen foto" apa gtu.. hihi..

    BalasHapus