Kunang-kunang
itu...
Aku tak pernah bisa sekuat dia, yang
rela menyalakan tubuhnya dikala malam menerobos waktunya. Aku tak pernah bisa
setegar dia, yang tak pernah berhenti menerangi danau ini, ketika kegelapan
membelenggunya. Yah. Danau ini kini menjadi tempat favoritku, sejak aku tahu
mereka ada disana. Entah sudah berapa lama aku selalu datang ke danau ini. Ketika
senja terakhir mulai menyapa sang bintang, ketika itu pula aku berlari menuju
kawasan ini, dan mulai menikmati keindahan warna mereka. Kunang-kunang yang
selalu membuat hatiku sedamai dirumah.
Aku ingin kembali kerumah, kembali
merasakan hangatnya pelukan Ibu dan mendengarkan segala ungkapan kata bijak
dari ayah, aku merindukannya. Aku tahu ini semua memang salahku. Jika dulu aku
tak pernah memaksa ayah untuk membelikannu sebuah mobil mewah, mungkin ayah
tidak akan pernah terperosok kedalam lubang tikus yang menghantarkannya untuk
mengambil jalan pintas agar aku bahagia. Ayahku korupsi, beliau mengambil
beberapa jatah gaji bawahannya. Dulu ayahku bekerja sebagai kepala staf HRD di
sebuah perusahaan besar di kota Surabaya. Tapi setelah kejadian itu, ayah
dipecat dan dijebloskan kedalam penjara. Aku tak pernah tahu pasti berapa tahun
hukumannya, mungkin sekitar 5 tahun penjara. Sedangkan ibu meninggal akibat
serangan jantung mendadak ketika ketok palu dari sang hakim berbicara.
Ini adalah tahun ke-4 setelah masa
itu berlalu. Dan masa ini adalah masa dimana aku harus bertahan hidup sejak
semua kesalahan itu terjadi. Masa yang mengharuskan aku pindah keluar kota dan
mencari pekerjaan untuk menyambung hidupku sendiri, dan tinggal dikontrakan
rumah susun kumuh, yang dulu aku sendiri tak pernah menyukai tempat-tempat
seperti ini. Bekerja sebagai buruh cuci piring di salah satu restoran mahal
dikota ini, Bandung. Yah, karena hanya pekerjaan itulah yang bisa aku kerjakan.
Tapi mungkinkah aku harus melalui semua ini sampai mati...? Sungguh aku ingin
pulang, dan memperbaiki kesalahan yang dulu pernah aku lakukan.
Kini yang ada difikiranku hanyalah
tentang rumah, tentang ayah, dan tentang almarhumah ibuku yang sedang melihatku
dari surga.
“Maafkan aku ayah, ibu, maafkan
anakmu yang bodoh ini...”
Mataku
mulai nanar, pandanganku mulai kabur karena timbunan air mata yang hampir tak
mau menetes lagi dipipi. Mungkin sudah terlalu banyak air mata penyesalan yang
sudah aku teteskan karena ini semua, hingga air mataku enggan meneteskannya
lagi untukku.
Kuambil
handphone dari tas kecil yang ada sebelahku dan mulai memandangi foto-foto
kenangan paling manis yang pernah aku alami dalam hidupku. Kenangan apa lagi
kalau bukan kenangan ketika masa Ayah dan Ibu masih memeluk hangat tubuhku. Kenangan
ketika kami bertiga meninggalkan segala aktivitas kesibukan dan meluangkannya
hanya untuk berkemah di tepi waduk didaerah Malang. Sederhana namun berhasil
membuat aku ingin kembali kemasa itu lagi.
“Apa
yang sedang kamu lakukan disini...?” Terdengar suara lelaki dari arah
belakangku.
Perlahan
lelaki itu mendekat kearahku, mengusik kesepian yang sedang aku buat sendiri.
Dari kegelapan aku menerka-nerka siapakah lelaki yang sudah lancang mengganggu
kesendirianku ini...? Beraninya mencuri perhatianku, ketika segala pusat perhatianku
telah kuberikan untuk kenangan-kenangan indah masa laluku.
“Ini
saya Deris.” Ucapnya sambil menyentrong wajahnya dengan lampu senter yang
terdapat dari handphonenya.
Aku
langsung kaget dan segera berdiri memberi salam penghormatanku kepadanya. Dia
adalah kepala bagian dapur di restoran tempat aku bekerja. Umurnya baru 25
tahun, 1 tahun lebih tua dariku. Namun diumur yang masih muda itu Pak Deris
sudah dipercaya oleh pemilik restoran untuk menjabat sebagai kepala bagian
dapur disana.
“Maaf
kalau saya lancang mengikuti kamu dari belakang Riana. Saya hanya penasaran
dengan apa yang selalu kamu lakukan di danau yang sepi ini.”
“Apa
yang bapak ingin tau dari saya..? toh saya hanyalah buruh tukang cuci di
restoran itu.” Balas ucapanku yang selalu dingin terhadap orang lain yang tidak
begitu aku kenal.
“Oh
ternyata kunang-kunang ini yang menarikmu kesini. Ternyata indah juga yah,
ketika kunang-kunang rela menerangi gelapnya danau dengan sinar yang ada
didalam tubuhnya. Apa kedamaian seperti ini yang kamu cari..?”
Aku
melirik sesekali kearah Pak Deris, dan sepertinya Pak Deris juga melakukan hal
yang sama denganku ketika dia mulai memalingkan pembicaraannya.
“Apa
yang sedang bapak lakukan..?” Sambil menoleh kearah Pak Deris
“Apa
yang sedang kamu lakukan disini...?” Langsung duduk dipinggir danau tanpa
menolehpun kearahku.
“Saya
hanya ingin sendiri pak.” Membuntuti Pak Deris untuk duduk disebelahnya.
“Dan
saya hanya ingin menemani kamu yang lagi sendirian.” Kali ini dia yang menoleh
kearahku.
Bahkan
ketika kami berdua duduk berdampingan, kesepian masih saja berhasil menguasai
batinku. Aku membiarkan Pak Deris menemaniku, namun tetap saja kekosongan itu
masih terasa membelengguku.
“Jadi
apa yang kamu lakukan disini..?” Pak Deris mulai membuka pecakapan itu lagi.
“Hanya
mengingat rumah.” Padanganku masih lurus kearah danau didepanku.
“Rumah...?”
Entah
karena sebab apa aku mulai menceritakan semua kehidupanku kapadanya, tentang
indahnya kebersamaan keluarga yang dulu pernah aku sia-siakan. Tentang cinta
kedua orang tuaku dan tentang keegoisanku yang selalu meminta kesempurnaan. Dan
tanpa pernah aku sadar, bahwa merekalah kesempurnaan kehidupanku waktu itu.
Hingga sebuah kehancuran yang menjadi balasan atas apa yang pernah aku paksakan
kepada kedua orang tuaku. Hanya penyesalan yang kini datang dan merajai di
setiap hari pada hatiku.
Lalu
hanya hembusan nafas besar yang aku dengar dari arah sebelah kananku.
“Tidak
ada yang perlu kamu sesalkan atas apa yang pernah terjadi dalam hidupmu. Semua
orang pernah melakukan kesalahan, semua orang pernah merasakan kehancuran atas
apa yang dulu pernah ia lakukan. Tapi penyesalan hanya akan membuatmu semakin
hancur.” Ucap Pak Deris yang mengagetkanku.
“Lalu
apa yang harus saya lakukan..?”
“Memperbaiki
apa yang kamu pikir harus kamu perbaiki.
Dan melanjutkan apa yang kamu pikir harus kamu lanjutkan Riana.”
Lanjutnya.
“Bagaimana
bisa...?”
“Tentang
ibumu, doakan saja dia agar beliau bisa tenang disana. Tentang ayahmu, tunggu
saja beliau sampai keluar dari penjara, kamu harus kembali dan bisa memperbaiki
kesalahan-kesalahanmu dulu. Lalu jadilah seperti kunang-kunang itu...” Pak
Deris menunjuk satu kunang-kunang yang terlihat paling terang diantara
kunang-kunang yang lainnya.
Yah,
tepat sekali. Kunang-kunang itu memang terlihat paling terang karena dia tidak
berkumpul bersama kunang-kunang yang lainnya. Dia menyendiri, dan mencoba
menyinari satu titik tergelap di danau ini. Mungkin seperti aku, yang sedang
mencoba bangkit atas keterpurukan yang pernah aku buat sendiri. Kunang-kunang
itu memang paling bersinar, tapi aku harus lebih bersinar untuk ayah yang
sedang menunggu kebebasan, dan untuk ibu yang sudah terlanjur bahagia di surga
Tuhan.
Keren.. Lnjutkan ceritanya!!
BalasHapushohoho iya dhan...
Hapuskasih inspirasi nah, biar aku bisa bikin cerpen lagi. :P
Mungkin tentang kisah cinta dan persahabatan sejak dia kecil, tapi d ujung crita di saat mereka menyadari bahwa mereka saing mencintai dan saling mengungkapkan, tapi semua tlah sia sia karena salah satu dia antara mereka mengidap sebuah penyakit dan tak beberapa lama lagi dia meniggal. tapi dia tak mengatakannya jadi mereka melewati hari harinya seperti tak ada apa apa hingga saatnya tiba dia pergi berpisah darinya tanpa pemberitahuan apapun, tapi di meninggalkn sebuah surat yang yang mengatakan bahwa dia tlah bahagia karena bisa menghabiskan sisa hidupnya dengannya. ENDDDD
BalasHapusEH kunjungi baliklah http://12amadhaniazhar1.blogspot.com/ kasih komen foto" apa gtu.. hihi..