Senin, 27 Januari 2014

Tingkat Tinggi

Ingat saat kita pernah mencoba merasakan hal yang sama...? perasaan yang sama, serta hembusan nafas yang sama...? ketika rasa itu timbul dari dalam hatiku, ketika itu pula aku merasa diriku telah terbelah menjadi dua. Aku dan kamu. Seakan rasa yang sedang kamu rasa, adalah rasa yang sedang aku rasakan. Dan segala pahitpun selalu kita lalui bersama.
Aku tak pernah benar-benar tahu tentang perasaanmu Awan, tentang status apa yang kita jalani saat itu, dan tentang rasa apa yang sedang aku rasakan dulu. Karena yang aku tahu hanya kamu, entah dengan status apa yang sedang kita jalani. Aku tak pernah mencoba menegaskan semuanya, karena bagiku ketegasan itu hanyalah sebuah formalitas dari simbol kebersamaan kita saat itu.

Bisakah kamu menceritakan bagian mana yang terberat ketika kisah itu sedang kita lalui bersama...? Kurasa bahkan sudah terlalu banyak hal-hal berat yang terjadi ketika takdir mulai memberikan kepercayaannya untuk kita bersama. Ketika terucap janji untuk saling melindungi seberapa berat ancaman itu akan menelan kita. Bisakah kamu mengingat bagian itu Awan...? Bahkan ketika kekacauan sedang melanda duniaku, sikap dinginmu kini malah membuatku menjadi semakin membeku.
Bukankah cinta itu tentang dua orang yang saling memperjuangkan...? Saling merindukan, dan saling menguatkan ketika salah satu diantara mereka sedang mengalami keterpurukan. Tapi apakah kamu sudah melakukannya untukku Awan...? Bahkan orang yang kamu pikir kuat ini akan tetap menjadi rapuh, jika cinta yang selama ini berbunga kini mulai layu dan menjadi hampir mati oleh panasnya keadaan yang membuatnya semakin tak bisa memiliki cinta itu.
Sepintas kilat bayangan itu hadir kembali, ketika pertama kali kita janjian bertemu di perpusatakaan kampus dan kamu memintaku untuk membantu mengerjakan tugas-tugas kuliahmu yang sebanyak ikan dilaut merah. Apa kamu pikir aku seorang profesor yang bisa menyelesaikan tugas-tugasmu, sedangkan aku bukan berada dijurusan yang sama denganmu. Aku hanyalah calon sarjana pendidikan, sedangkan kamu adalah calon seorang dokter. Dengan dasar-dasar teori kebatinan yang aku miliki, akhirnya aku memutuskan untuk membantu menyelesaikan tugas-tugasmu itu. Singkat cerita itulah yang membuat aku dan kamu menjadi “kita”. Dan “kita” yang tak pernah memiliki arti hubungan apa-apa.
Aku sadar tentang apa yang dapat kita lihat itu bukanlah apa yang harus kita miliki selamanya. Dan apa yang terkadang terlihat nyata itu tidak selamanya dapat kita rasakan sentuhannya. Semuanya itu hanya tentang kamu Awan, tentang kisah yang selama ini aku pikir akan memiliki tujuan yang pasti, namun semua itu hanyalah menjadi sebagian alunan melodi terindah dalam mimpi. Yah. Karena kamu hanyalah khayalan terindah yang tak akan pernah bisa aku membawanya kedalam nyata.
Bisa mengingat ketika kamu memalingkan pandangan saat semua orang membicarakanku dan ketika kamu mengajakku pergi menghindarinya...? Pegangan tanganmu Awan, hanya pegangan tanganmu yang membuat jiwa terasa begitu tenang. Meski diriku bukanlah sosok yang pantas untukmu, tapi kamu telah berhasil mengubahnya menjadi dunia hanya milik kita berdua. Dan tatapan matamu itu Awan, adalah tatapan mata yang berhasil mengalihkan segala tiupan suara menyakitkan dan merubahnya menjadi sebuah kedamaian.
Namun apa yang terjadi sekarang denganmu Awan...? Bahkan ketika bahu kita saling bertabrakan, kamu tidak pernah sedikitpun untuk mencoba menoleh kearahku. Adakah yang salah dengan keadaan kita berdua sekarang...? Bisakah kamu menjelaskan bagian mana yang membuatmu menjadi seperti ini...? Bukankah sebelumnya telah aku jelaskan, status sosial memang bukanlah menjadi dasar tumbuhnya benih-benih cinta. Tapi sekarang, suka atau tidak, kalangan sosial yang menentukan pantas atau tidaknya cinta itu dapat diterima.
Kenapa...? Malu dengan pilihan yang dulu pernah kamu tegaskan jika suatu hubungan bukanlah atas dasar status sosial...? Kalau begitu apa arti genggaman tanganmu dulu...? Bisa jelaskan pelukan apa yang dulu pernah kamu berikan untukku...? Jika semua yang pernah terjadi pada kita adalah simbol persahabatan darimu, mengapa saat itu kamu membiarkan imajinasiku menjadi liar...? Bahkan hingga aku tak mampu menjelaskan pada hatiku sendiri tentang arti kembang-kempisnya dada ketika melihat paras wajahmu, serta kekecewaan yang menghancurkan kepercayaan hatiku untukmu.
Namun terima kasih untuk segala khayalan tingkat tinggi ini yang pernah kamu perkenalkan padaku. Sungguh tak akan pernah lagi, dan tak akan pernah kucoba lagi menjalani cerita gila seperti yang pernah kamu tawarkan pada hidupku dulu. Bersenang-senanglah dengan kehidupanmu sekarang tanpaku, maka aku juga akan lebih tenang karena hidupku tidak terusik dengan khayalan tingkat tinggi itu lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar