Lagi, masih di tempat dan waktu yang selalu sama aku
disini. Terlentang di atas
rumput taman sambil menatap lekat langit luas bertabur bintang disana. Tempat
yang kurasa jauh untukku menggapainya, namun terasa begitu dekat ketika aku
mencoba masuk dalam gabungan-gabungan dari rasi bintang yang sedang ada di
pelupuk mata. Selalu bermain bersama imaji yang telah lama bersatu dan menjadi
sahabat baikku. Yah, disinilah tempatku mencurahkan segala isi yang selalu
bergejolak dalam relung hatiku, bersama taman langit bertabur bintang disana,
dan berkata “langit, temaniku bicara” sebagai kalimat utama sebagai sandi
pembuka kata.
Sejak kematian Bagas, disinilah satu-satunya
tempatku mencurahkan segala lara yang terpendam. Semasa hidupnya, bagiku Bagas
adalah sosok bintang dalam hidupku, bahkan sampai dia menutup matapun Bagas masih tetap menjadi
bintang terang yang selalu temani malamku. Dan disinilah aku bisa melihat
Bagas, melihat sinar terangnya. Ku tunjuk bintang paling terang di langit malam
sebagai penggantinya, disana aku
mencoba menghidupkan Bagas dalam terangnya sang bintang bersama permainan
imajiku tentangnya, dan selalu tentang dirinya.
“Andaikan bintang itu redup dan tak lagi menerangi
malam, apakah kamu tetap ada disini
menemani malam panjangku
Diandra?” aku mendengar suara itu, suara tak asing yang terdengar ditelingaku.
“Ya, bintang
itu akan segera redup karena sinarnya yang paling terang diantara bintang lain
diatas sana, tapi kamu tak akan menjadi redup, karena aku akan menunjuk bintang
lain yang lebih terang sebagai pengganti bintang itu agar dirimu tetap menjadi
bintang yang paling terang Gas” jawabku pasti kepadanya.
“Tapi jika
tak ada satupun bintang paling terang disana, akankah kamu akan menyamakan
kedudukanku dengan bintang yang lain disana?”
“Dan itu tak akan pernah terjadi. Karna tulus dari
dasar hatiku, kamulah bintang paling terang yang selalu terangi hidupku.” Masih
dalam posisi tidur terlentang dan memandang langit bertabur bintang aku menjawab
pertanyaan itu.
Kepergian Bagas sungguh membuatku ingin segera
menyusulnya. Tak tahan rasanya aku memendam rasa rindu akan garis senyumnya
yang indah, tutur katanya yang membuat tenang jiwa, serta sifat kedewasaannya
yang selalu membuatku terlindungi dari segala mara bahaya. Aku merindukan
untaian sajak mutiara darinya, aku merindukan hati yang selalu menentramkan
jiwa, dan aku merindukan Bagas, bintang terang yang tak akan pernah redup meski
mendung menyelinap dalam dirinya.
Langit, aku ingin memetik bintangmu dan membawanya
masuk ke dalam relung hatiku selamanya. Bintang, aku ingin kamu tahu bahwa di
balik sinarmu itu, aku menyimpan senyum
indah Bagas disana. Melihatnya, seakan
persendian ini berguncang karena senyum itu membuatku lumpuh dan menjadi
ketergantungan oleh untaian sajak mutiara yang selalu Bagas lontarkan untukku.
Bila kalian bertanya seberapa banyak rasa cintaku padanya, aku tak akan pernah
bisa menjawabnya, karena sebanyak jari-jari kalianpun takkan pernah cukup untuk
menghitung seberapa banyak cintaku
kepadanya. Karena yang aku tahu, aku hanya mencintainya.
“Ku
beri seribu permen untukmu Diandra, namun harus kamu tahu, bila rasa cintaku
lebih banyak dari seribu permen yang aku berikan kepadamu.”
Serasa baru kemarin sore Bagas mengungkapkan rasa
cintanya dengan membawa seribu bungkus permen yang bertuliskan kata “I Love
You” padaku. Aku takkan pernah rela menyiakan kesempatan ini berlalu dengan
penyesalan, karena itu aku segera menerima cintanya.
“Terima
kasih untuk cinta yang lebih dari seribu permen ini Bagas, dan aku menerima
cintamu lebih dari seribu permen yang telah kamu berikan untukku.”
Menjalani kehidupan biasa bersama orang yang tidak biasa menurutku
adalah suatu hal terindah. Meski biasa, namun Bagas telah sukses memberiku
sejuta alunan melodi cinta terindah, hingga selalu aku merasa menjalani hidup
dengannya adalah satu-satunya alasanku untuk berani menghirup oksigen yang
telah lama bersatu bersama udara yang ada di permukaan bumi ini. Karena Bagas
adalah nafasku, dan tak ada yang lebih aku butuhkan daripada bernafas dan
menjalani hidup bersama nafasku.
Seumpama nadi dia mengisi hariku, menyatu bersama aliran
darah dalam tubuhku. Seperti itulah cinta yang aku rasakan darinya, sesuatu
yang tak pernah aku inginkan, namun aku selalu membutuhkannya.
“Semoga harimu seperti udara pagi yang bersih tanpa
polusi”
Hmz, Bagas selalu menyapa pagiku dengan sepucuk kata
terindah, sederhana, tapi terdapat satu doa tulus yang tersirat didalamnya.
Seakan mentari tiba dan menyapa hariku yang siap menjadi berwarna, karena Bagas
adalah mentari pagiku. Dan ketika malam mulai menyapa, seakan kesunyian enggan untuk
menerorku, karena seketika itu Bagas menjelma menjadi bintang penerang malamku.
Pernah Bagas mengajakku ke tempat yang paling sederhana.
Disana yang ada hanya hamparan rumput bersama lampion yang mengelilinginya, dan
tak ada satupun tempat duduk disekitarnya. Yah, inilah tempat yang sering aku
kunjungi, bahkan sampai saat ini. Tepatnya disudut taman kompleks perumahan
yang letaknya tak seberapa jauh dari rumahku. Disinilah Bagas memperkenalkan
aku dengan anggota rasi bintang dan mengajakku bermain imaji bersamanya.
“Diandra,
jika nanti hariku untukmu sudah tiada. Aku ingin kamu selalu dapat melihatku tersenyum diantara sinar bintang
disana, dan yang harus kamu ketahui, aku menjemputmu dengan cinta dan ketika
nanti aku meninggalkanmu, cinta dalam jiwa ini masih tetap bersarang untukmu Diandra.”
Ucap Bagas seketika mengagetkanku.
“Apa maksud dari ucapanmu Bagas? Apa kamu berniat untuk
meninggalkanku?” aku mulai tak terima
“Demi Tuhan, kamulah satu-satunya alasan mengapa hingga
detik ini jantungku masih berdetak Diandra.” Jawabnya dengan memegang erat
tanganku.
“Lalu apa maksudmu Bagas?”
“Aku akan melanjutkan studyku di Amerika”
“Jauh banget, berapa lama?”
“Mungkin 4 sampai 5 tahun aku menetap disana.”
“Terus, bagiamana denganku?”
Bagas tak bisa lagi menjawab partanyaanku. Dan seketika
itu semua nada dan irama jiwa menjadi mengeras dan diriku yang tak mau
menerimanya. Beranjak dari sisi Bagas segera aku meninggalkannya, melihat Bagas yang
membuntutiku, aku berlari sekuatku. Aku tak mau dia melihatku menangis karena
aku yang terlalu takut untuk kehilangannya, aku tak mau melepaskan cintaku
dengan derasnya tetes air mata yang mengalir di permukaan pipi ini, karena aku
tahu Bagas tak akan pernah bisa tenang meninggalkanku bersama air mata yang
masih mengalir deras di pipiku. Itulah
alasanku beranjak meninggalkannya saat itu. Dan aku masih melihat Bagas tetap
berlari mengejarku.
Ketakutanku
untuk kehilangan Bagas begitu mendalam, karena bagiku Bagas adalah nafasku. Aku
tak pernah menginginkannnya, tapi aku begitu membutuhkannya. Tanpanya tak
mungkin bisa aku bertahan hidup sendiri mewarnai hidupku tanpa kehairannya
disampingku, sungguh selama ini tak pernah sekalipun aku mencoba untuk
membayangkannya. Hingga tibalah aku sampai diperempatan jalan. Ketika kulihat
kearah belakang, aku tak lagi melihat Bagas yang mengikutiku.
“Bagas,
dimana dia?”
Celingukan aku mencarinya, otakku semakin berkutat dengan
angan-angan tak jelas tentang aku yang akan benar-benar kehilangannya. Akupun
segera berbalik arah dan berusaha mencarinya, dan tak jauh dari tempatku
semula, aku melihat kerumunan warga. Kudengar kasak-kusuk dari beberapa orang,
disana ada korban tabrak lari yang meninggal ditempat kejadian perkara. Jasadnya
remuk karena penabrak merupakan sebuah truk yang melaju dengan kecepatan tinggi
dan sopir yang ugal-ugalan. Penasaran, aku berusaha mendekati kerumunan disana.
“Tuhan, inikah arti dari ucapan Bagas tadi?”
Jenazah yang ada dihadapanku saat ini adalah jenazah
Bagas. Seketika itu ragaku seakan lumpuh, hatiku serasa remuk dan jantungku
berhenti berdetak.
“Demi Tuhan bagas, bangun! Untukku, untuk cinta kita
berdua.”
Didalam
jaket Bagas yang telah berlumuran darah itu aku menemukan liontin cantik, dan
sepucuk untaian kata bertuliskan :
“Tetap jadikan aku sebagai bintang terangmu
Diandra. Meski ragaku tak mendampingmu, tapi cintaku akan setia bersamamu.
Percayalah! “
Bukan ini yang aku mau Bagas. Maafkan keegoisanku yang
tak pernah rela melepaskan dirimu pergi dari kehidupanku, sebentar, ataupun
selamanya.
Kini aku
mengerti, semakin aku mencoba menggengam cinta, semakin aku akan menyiksa
cintaku sendiri. Teruntuk Bagas, terima kasih untuk cinta yang telah kau
pancarkan seperti bintang di surga. Kuyakinkan hatimu untuk selamanya hidup
dalam jiwaku.
Ku letakkan goresan tintaku bersama bingkai foto
terbaikku dengan Bagas diatas batu nisannya, sebagai ungkapan betapa aku
mencintainya. Belajar dari apa yang
telah aku alami, kini aku berusaha tidak meneteskan air mata untuknya. Karena
aku yakin, apabila saat ini aku menangis, Bagas tidak akan pernah tenang di alam
barunya, dan mungkin tidak akan sanggup menjadi bintang paling terang untukku,
seperti apa yang pernah dia janjikan kepadaku dulu.
“Nona manis, sudah malam ini. Tidak baik untuk seorang
wanita yang masih ada ditempat sepi seperti ini.” Tiba-tiba terdengar suara
yang mengagetkan lamunanku.
“Bagas” ucapku kaget seketika melihat wajah didepanku
yang begitu mirip dengannya.
“Maaf nona, nama
saya Bintang, bukan Bagas.” Dan diapun langsung beranjak meninggalkanku begitu
saja.
Bagas,
ternyata kamu telah menjelma menjadi Bintang.
Nice Cerpen sob..
BalasHapusCer[pen ini yang ku share di blog ku..
Kunjungi blog ku juga y..
http://12amadhaniazhar1.blogspot.com/
hihihi seneng juga kalo ada yang bantu nge-share gini.. ^_^
BalasHapus