Senin, 08 Juli 2013

LANGIT, TEMANIKU BICARA…



Lagi, masih di tempat dan waktu yang selalu sama aku disini. Terlentang di atas rumput taman sambil menatap lekat langit luas bertabur bintang disana. Tempat yang kurasa jauh untukku menggapainya, namun terasa begitu dekat ketika aku mencoba masuk dalam gabungan-gabungan dari rasi bintang yang sedang ada di pelupuk mata. Selalu bermain bersama imaji yang telah lama bersatu dan menjadi sahabat baikku. Yah, disinilah tempatku mencurahkan segala isi yang selalu bergejolak dalam relung hatiku, bersama taman langit bertabur bintang disana, dan berkata “langit, temaniku bicara” sebagai kalimat utama sebagai sandi pembuka kata.
Sejak kematian Bagas, disinilah satu-satunya tempatku mencurahkan segala lara yang terpendam. Semasa hidupnya, bagiku Bagas adalah sosok bintang dalam hidupku, bahkan sampai dia  menutup matapun Bagas masih tetap menjadi bintang terang yang selalu temani malamku. Dan disinilah aku bisa melihat Bagas, melihat sinar terangnya. Ku tunjuk bintang paling terang di langit malam sebagai penggantinya, disana aku mencoba menghidupkan Bagas dalam terangnya sang bintang bersama permainan imajiku tentangnya, dan selalu tentang dirinya.

“Andaikan bintang itu redup dan tak lagi menerangi malam, apakah kamu tetap ada disini menemani malam panjangku Diandra?” aku mendengar suara itu, suara tak asing yang terdengar ditelingaku.
Ya, bintang itu akan segera redup karena sinarnya yang paling terang diantara bintang lain diatas sana, tapi kamu tak akan menjadi redup, karena aku akan menunjuk bintang lain yang lebih terang sebagai pengganti bintang itu agar dirimu tetap menjadi bintang yang paling terang Gas” jawabku pasti kepadanya.
 “Tapi jika tak ada satupun bintang paling terang disana, akankah kamu akan menyamakan kedudukanku dengan bintang yang lain disana?”
“Dan itu tak akan pernah terjadi. Karna tulus dari dasar hatiku, kamulah bintang paling terang yang selalu terangi hidupku.” Masih dalam posisi tidur terlentang dan memandang langit bertabur bintang aku menjawab pertanyaan itu.
Kepergian Bagas sungguh membuatku ingin segera menyusulnya. Tak tahan rasanya aku memendam rasa rindu akan garis senyumnya yang indah, tutur katanya yang membuat tenang jiwa, serta sifat kedewasaannya yang selalu membuatku terlindungi dari segala mara bahaya. Aku merindukan untaian sajak mutiara darinya, aku merindukan hati yang selalu menentramkan jiwa, dan aku merindukan Bagas, bintang terang yang tak akan pernah redup meski mendung menyelinap dalam dirinya.
Langit, aku ingin memetik bintangmu dan membawanya masuk ke dalam relung hatiku selamanya. Bintang, aku ingin kamu tahu bahwa di balik sinarmu itu, aku menyimpan senyum indah Bagas disana. Melihatnya, seakan persendian ini berguncang karena senyum itu membuatku lumpuh dan menjadi ketergantungan oleh untaian sajak mutiara yang selalu Bagas lontarkan untukku. Bila kalian bertanya seberapa banyak rasa cintaku padanya, aku tak akan pernah bisa menjawabnya, karena sebanyak jari-jari kalianpun takkan pernah cukup untuk menghitung seberapa banyak cintaku kepadanya. Karena yang aku tahu, aku hanya mencintainya.
Ku beri seribu permen untukmu Diandra, namun harus kamu tahu, bila rasa cintaku lebih banyak dari seribu permen yang aku berikan kepadamu.”
Serasa baru kemarin sore Bagas mengungkapkan rasa cintanya dengan membawa seribu bungkus permen yang bertuliskan kata “I Love You” padaku. Aku takkan pernah rela menyiakan kesempatan ini berlalu dengan penyesalan, karena itu aku segera menerima cintanya.
Terima kasih untuk cinta yang lebih dari seribu permen ini Bagas, dan aku menerima cintamu lebih dari seribu permen yang telah kamu berikan untukku.”
Menjalani kehidupan biasa bersama orang yang tidak biasa menurutku adalah suatu hal terindah. Meski biasa, namun Bagas telah sukses memberiku sejuta alunan melodi cinta terindah, hingga selalu aku merasa menjalani hidup dengannya adalah satu-satunya alasanku untuk berani menghirup oksigen yang telah lama bersatu bersama udara yang ada di permukaan bumi ini. Karena Bagas adalah nafasku, dan tak ada yang lebih aku butuhkan daripada bernafas dan menjalani hidup bersama nafasku.
Seumpama nadi dia mengisi hariku, menyatu bersama aliran darah dalam tubuhku. Seperti itulah cinta yang aku rasakan darinya, sesuatu yang tak pernah aku inginkan, namun aku selalu membutuhkannya.
“Semoga harimu seperti udara pagi yang bersih tanpa polusi”
Hmz, Bagas selalu menyapa pagiku dengan sepucuk kata terindah, sederhana, tapi terdapat satu doa tulus yang tersirat didalamnya. Seakan mentari tiba dan menyapa hariku yang siap menjadi berwarna, karena Bagas adalah mentari pagiku. Dan ketika malam mulai menyapa, seakan kesunyian enggan untuk menerorku, karena seketika itu Bagas menjelma menjadi bintang penerang malamku.
Pernah Bagas mengajakku ke tempat yang paling sederhana. Disana yang ada hanya hamparan rumput bersama lampion yang mengelilinginya, dan tak ada satupun tempat duduk disekitarnya. Yah, inilah tempat yang sering aku kunjungi, bahkan sampai saat ini. Tepatnya disudut taman kompleks perumahan yang letaknya tak seberapa jauh dari rumahku. Disinilah Bagas memperkenalkan aku dengan anggota rasi bintang dan mengajakku bermain imaji bersamanya.
            “Diandra, jika nanti hariku untukmu sudah tiada. Aku ingin kamu selalu dapat  melihatku tersenyum diantara sinar bintang disana, dan yang harus kamu ketahui, aku menjemputmu dengan cinta dan ketika nanti aku meninggalkanmu, cinta dalam jiwa ini masih tetap bersarang untukmu Diandra.” Ucap Bagas seketika mengagetkanku.
“Apa maksud dari ucapanmu Bagas? Apa kamu berniat untuk meninggalkanku?” aku mulai tak terima
“Demi Tuhan, kamulah satu-satunya alasan mengapa hingga detik ini jantungku masih berdetak Diandra.” Jawabnya dengan memegang erat tanganku.
“Lalu apa maksudmu Bagas?”
“Aku akan melanjutkan studyku di Amerika”
“Jauh banget, berapa lama?”
“Mungkin 4 sampai 5 tahun aku menetap disana.”
“Terus, bagiamana denganku?”
Bagas tak bisa lagi menjawab partanyaanku. Dan seketika itu semua nada dan irama jiwa menjadi mengeras dan diriku yang tak mau menerimanya. Beranjak dari sisi Bagas  segera aku meninggalkannya, melihat Bagas yang membuntutiku, aku berlari sekuatku. Aku tak mau dia melihatku menangis karena aku yang terlalu takut untuk kehilangannya, aku tak mau melepaskan cintaku dengan derasnya tetes air mata yang mengalir di permukaan pipi ini, karena aku tahu Bagas tak akan pernah bisa tenang meninggalkanku bersama air mata yang masih mengalir deras di pipiku.  Itulah alasanku beranjak meninggalkannya saat itu. Dan aku masih melihat Bagas tetap berlari mengejarku.
            Ketakutanku untuk kehilangan Bagas begitu mendalam, karena bagiku Bagas adalah nafasku. Aku tak pernah menginginkannnya, tapi aku begitu membutuhkannya. Tanpanya tak mungkin bisa aku bertahan hidup sendiri mewarnai hidupku tanpa kehairannya disampingku, sungguh selama ini tak pernah sekalipun aku mencoba untuk membayangkannya. Hingga tibalah aku sampai diperempatan jalan. Ketika kulihat kearah belakang, aku tak lagi melihat Bagas yang mengikutiku.
            “Bagas, dimana dia?”
Celingukan aku mencarinya, otakku semakin berkutat dengan angan-angan tak jelas tentang aku yang akan benar-benar kehilangannya. Akupun segera berbalik arah dan berusaha mencarinya, dan tak jauh dari tempatku semula, aku melihat kerumunan warga. Kudengar kasak-kusuk dari beberapa orang, disana ada korban tabrak lari yang meninggal ditempat kejadian perkara. Jasadnya remuk karena penabrak merupakan sebuah truk yang melaju dengan kecepatan tinggi dan sopir yang ugal-ugalan. Penasaran, aku berusaha mendekati kerumunan disana.
“Tuhan, inikah arti dari ucapan Bagas tadi?”
Jenazah yang ada dihadapanku saat ini adalah jenazah Bagas. Seketika itu ragaku seakan lumpuh, hatiku serasa remuk dan jantungku berhenti berdetak.
“Demi Tuhan bagas, bangun! Untukku, untuk cinta kita berdua.” 
            Didalam jaket Bagas yang telah berlumuran darah itu aku menemukan liontin cantik, dan sepucuk untaian kata bertuliskan  :
 Tetap jadikan aku sebagai bintang terangmu Diandra. Meski ragaku tak mendampingmu, tapi cintaku akan setia bersamamu. Percayalah!
Bukan ini yang aku mau Bagas. Maafkan keegoisanku yang tak pernah rela melepaskan dirimu pergi dari kehidupanku, sebentar, ataupun selamanya.
Kini aku mengerti, semakin aku mencoba menggengam cinta, semakin aku akan menyiksa cintaku sendiri. Teruntuk Bagas, terima kasih untuk cinta yang telah kau pancarkan seperti bintang di surga. Kuyakinkan hatimu untuk selamanya hidup dalam jiwaku.
Ku letakkan goresan tintaku bersama bingkai foto terbaikku dengan Bagas diatas batu nisannya, sebagai ungkapan betapa aku mencintainya.  Belajar dari apa yang telah aku alami, kini aku berusaha tidak meneteskan air mata untuknya. Karena aku yakin, apabila saat ini aku menangis, Bagas tidak akan pernah tenang di alam barunya, dan mungkin tidak akan sanggup menjadi bintang paling terang untukku, seperti apa yang pernah dia janjikan kepadaku dulu.
“Nona manis, sudah malam ini. Tidak baik untuk seorang wanita yang masih ada ditempat sepi seperti ini.” Tiba-tiba terdengar suara yang mengagetkan lamunanku.
“Bagas” ucapku kaget seketika melihat wajah didepanku yang begitu mirip dengannya.
“Maaf  nona, nama saya Bintang, bukan Bagas.” Dan diapun langsung beranjak meninggalkanku begitu saja.
Bagas, ternyata kamu telah menjelma menjadi Bintang.

2 komentar:

  1. Nice Cerpen sob..
    Cer[pen ini yang ku share di blog ku..

    Kunjungi blog ku juga y..
    http://12amadhaniazhar1.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. hihihi seneng juga kalo ada yang bantu nge-share gini.. ^_^

    BalasHapus