"Tama, aku
perintahkan untuk kamu. Tolong jangan lanjutkan ini...!”
Sudah ratusan kali aku
mengucapkan kata sandi itu, tapi Tama tak mau bangun dari tidurnya. Aku
berusaha membuang segala pikiran burukku tentang dirinya, karena aku yakin ini
hanyalah satu dari sekian ribu kejahilan Tama untukku. Aku yakin ini adalah
skenario Tama agar dia dapat memancing air mataku keluar lagi untuknya, setelah
adanya adegan mobil sedan yang menyerempet tubuhnya. Dan aku yakin setelah ini
Tama akan bangun dengan senyum penuh kemenangannya. Lalu mengejekku dengan
sebutan “KECENG (KEila CengENG)” agh aku capek.
“Tama kamu menang, sekarang
bangun dan segera kita pulang. Atau kamu aku tinggal.” Aku berdiri disebelah
tubuhnya yang sedang terlentang, dan bersiap seolah-olah aku akan segera
meninggalkannya.
Tapi sepertinya Tama tak
benar-benar ingin mengakhiri kejahilannya. Dia tak bergerak sedikitpun. Dan
kerumunan orang disekitarku kini menjadi bertambah banyak. Aku melihat darah
mengalir dikepala sebelah kirinya, aku melihat goresan luka ditangannya, dan
aku melihat Tama tak lagi mau menggerakkan tubuhnya.
Aku masih belum percaya dengan kejadian ini, aku yakin ini
masih menjadi babak kejahilan dari si tukang iseng kesayanganku. Meskipun Tama
adalah lelaki paling iseng dan paling nyebelin sedunia, dia masih tetap menjadi
seseorang yang selalu mengisi setiap debaran jantung dalam relung jiwaku. Aku
mencintainya demi jiwaku yang rela menjadi renta asalkan Tama tetap bersama
denganku selamanya.
Sepintas bayangan masa lalu itu
tiba-tiba muncul kembali. Hah bukan, bukan masa lalu, tapi 3 hari yang lalu.
Yah, baru 3 hari yang lalu Tama menjahiliku dengan sok berpura-pura marah
secara tiba-tiba, tanpa ada angin, tanpa ada hujan, dan tanpa ada alasan.
“Kei, datang ke taman biasa. Aku tunggu kamu
secepatnya, atau hubungan kita yang menjadi taruhannya.” Ucap dia tiba-tiba
ketika aku mengangkat telfonnya.
“Hah..? kok gitu..? ada apa sih
Tama...?” hingga dia berhasil membangunkan aku dari keseriusan tugas kuliah
yang hampir membuatku menjadi gila.
“Gak usah banyak tanya. Cepet
datang dan jangan lupa bawa pisau dari rumah...!”
“Lho, kenapa mesti bawa pisau
segala sih..? ada apa ini...?” aku semakin kaget ketika mendengar permintaan
Tama yang aneh seperti itu.
“Aku bilang jangan banyak tanya
Keila. Cepet kesini...!” kini nada suaranya semakin dipertegas, lalu dengan
seenaknya saja Tama menutup telfonnya.
Saat itu kekhawatiranku tentangnya
tiba-tiba semakin memuncak. Apa yang sedang dia fikirkan saat itu. pisau..?
kenapa harus ada pisau..? sedangkan aku tak mengerti mengapa harus memakai
pisau dalam situasi yang sempat aku merasa dia sedang marah denganku. Apa dia
mau membunuhku..? bahkan seorang pembunuh pun pasti akan memakai pisaunya
sendiri. Aku takut dengannya kini, tetapi aku akan jauh lebih takut bila aku
tak menemuinya malam ini.
Yasudahlah, kalau memang aku
harus mati ditangan orang yang aku sayangi, aku akan merelakan nyawaku
untuknya. Hanya itu yang ada di fikiranku, hingga aku memutuskan untuk tetap
pergi menemuinya dengan membawa pisau permintaan Tama, dan meninggalkan tugas
kuliah yang sedang menggila. Do`aku saat itu “Semoga ada yang lebih baik dari
kemarahan yang Tama tunjukkan kepadaku.”
Sampailah aku ditaman tempat
biasa kita janjian bertemu bersama.
“Dimana...?” smsku untuknya.
“Aku tunggu di depan air mancur. CEPET...!”
balasnya dengan segera.
“Iya.” Balasku lagi dengan
singkat. Dan aku segera menyusul Tama.
Setelah sampai depan air mancur,
aku tak melihat kejadian apa-apa disana. Tak ada adegan panas, tak ada
kerumunan orang, dan tak ada siapa-siapa. Hanya ada Tama yang duduk diatas
tikar sambil melambai-lambaikan tangannya. Sejurus kemudian aku langsung berlari
menemuinya.
“Mana pisau..?” tiba-tiba dia
menanyakannya.
“Buat apa sih...? kalau kamu
marah, gak usah main pisau dong Tama. Bahaya tau`, aku masih mau hidup lama
sama kamu.” Terocosku kepada Tama, sambil duduk disebelahnya.
“Halah, siapa yang marah-marah
sih..? aku cuma lagi butuh pisau. Kamu lihat ini...?” Tunjuk tama ke salah satu
buah duren didekatnya.
“Astaga, jadi...?” ekspresiku
mulai manyun.
“Hahaha, makanya jangan kencan
sama tugas kuliah aja. Aku cemburu tau`, aku kan sayang kamu Keila.” Tawa
puasnya sambil mencubit pipi tembemku.
“Aaaaaaa TAMAAAA...!” emosiku
sambil memukul lirih pundak pacarku satu-satunya.
“Udah ah, mana pisaunya..! kita
buka durennya terus kita makan sama-sama buahnya. Khusus buat kamu ini
sayaang.”
“Halah gombal.” Aku segera mengambil
pisau yang aku simpan di tas merah jambuku. “Nih...!”
Akhirnya malam itu menjadi malam
ter-romantis dalam satu minggu yang pernah aku lalui. Uups, setiap satu minggu
sekali sepertinya Aku dan Tama selalu mengukir cerita romantis bersama. Untuk
cinta dan untuk kita berdua. Terima kasih untuk masa terindah yang telah kamu
berikan selama kita berdua bersama.
Kini aku merasakan denyut
jantungku yang masih terukir namanya, desah nafasku yang masih menyebut
namanya, dan otakku yang masih membayangkan cinta indah tentang diriya.
“Tama, aku masih membutuhkanmu.
Kejahilanmu dan segala tingkahmu yang membuatku merasa hidup dengan cintamu.
Untuk cinta, bangun sayang bangun...!” kini teriakanku semakin menjadi ketika
Tama benar-benar tak mau menggerakkan tubuhnya lagi.
Sepertinya Tuhan memang lebih
meyanyangi Tama dibandingkan aku yang saat ini menyayanginya. Sungguh Tama
adalah satu-satunya lelaki yang mampu membuatku bertahan dalam malam kelam,
sungguh Tama adalah lilin yang rela mengikis tubuhnya demi menerangi hatiku
yang belum tentu rela mengikis tubuhku untuknya.
Teruntuk Tama “Terima kasih untuk
segala rasa indah yang pernah kamu ukir dalam relung jiwaku. Semoga bahagiamu
adalah bersama Tuhan yang selalu mengulurkan tangan terbukaNya untukmu. Aku
mencintaimu.” Keila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar