Selasa, 14 Mei 2013

Tolong Jangan Lanjutkan Ini...!

"Tama, aku perintahkan untuk kamu. Tolong jangan lanjutkan ini...!”
Sudah ratusan kali aku mengucapkan kata sandi itu, tapi Tama tak mau bangun dari tidurnya. Aku berusaha membuang segala pikiran burukku tentang dirinya, karena aku yakin ini hanyalah satu dari sekian ribu kejahilan Tama untukku. Aku yakin ini adalah skenario Tama agar dia dapat memancing air mataku keluar lagi untuknya, setelah adanya adegan mobil sedan yang menyerempet tubuhnya. Dan aku yakin setelah ini Tama akan bangun dengan senyum penuh kemenangannya. Lalu mengejekku dengan sebutan “KECENG (KEila CengENG)” agh aku capek.
“Tama kamu menang, sekarang bangun dan segera kita pulang. Atau kamu aku tinggal.” Aku berdiri disebelah tubuhnya yang sedang terlentang, dan bersiap seolah-olah aku akan segera meninggalkannya.
Tapi sepertinya Tama tak benar-benar ingin mengakhiri kejahilannya. Dia tak bergerak sedikitpun. Dan kerumunan orang disekitarku kini menjadi bertambah banyak. Aku melihat darah mengalir dikepala sebelah kirinya, aku melihat goresan luka ditangannya, dan aku melihat Tama tak lagi mau menggerakkan tubuhnya.
 
Aku masih belum  percaya dengan kejadian ini, aku yakin ini masih menjadi babak kejahilan dari si tukang iseng kesayanganku. Meskipun Tama adalah lelaki paling iseng dan paling nyebelin sedunia, dia masih tetap menjadi seseorang yang selalu mengisi setiap debaran jantung dalam relung jiwaku. Aku mencintainya demi jiwaku yang rela menjadi renta asalkan Tama tetap bersama denganku selamanya.
Sepintas bayangan masa lalu itu tiba-tiba muncul kembali. Hah bukan, bukan masa lalu, tapi 3 hari yang lalu. Yah, baru 3 hari yang lalu Tama menjahiliku dengan sok berpura-pura marah secara tiba-tiba, tanpa ada angin, tanpa ada hujan, dan tanpa ada alasan.
 “Kei, datang ke taman biasa. Aku tunggu kamu secepatnya, atau hubungan kita yang menjadi taruhannya.” Ucap dia tiba-tiba ketika aku mengangkat telfonnya.
“Hah..? kok gitu..? ada apa sih Tama...?” hingga dia berhasil membangunkan aku dari keseriusan tugas kuliah yang hampir membuatku menjadi gila.
“Gak usah banyak tanya. Cepet datang dan jangan lupa bawa pisau dari rumah...!”
“Lho, kenapa mesti bawa pisau segala sih..? ada apa ini...?” aku semakin kaget ketika mendengar permintaan Tama yang aneh seperti itu.
“Aku bilang jangan banyak tanya Keila. Cepet kesini...!” kini nada suaranya semakin dipertegas, lalu dengan seenaknya saja Tama menutup telfonnya.
Saat itu kekhawatiranku tentangnya tiba-tiba semakin memuncak. Apa yang sedang dia fikirkan saat itu. pisau..? kenapa harus ada pisau..? sedangkan aku tak mengerti mengapa harus memakai pisau dalam situasi yang sempat aku merasa dia sedang marah denganku. Apa dia mau membunuhku..? bahkan seorang pembunuh pun pasti akan memakai pisaunya sendiri. Aku takut dengannya kini, tetapi aku akan jauh lebih takut bila aku tak menemuinya malam ini.
Yasudahlah, kalau memang aku harus mati ditangan orang yang aku sayangi, aku akan merelakan nyawaku untuknya. Hanya itu yang ada di fikiranku, hingga aku memutuskan untuk tetap pergi menemuinya dengan membawa pisau permintaan Tama, dan meninggalkan tugas kuliah yang sedang menggila. Do`aku saat itu “Semoga ada yang lebih baik dari kemarahan yang Tama tunjukkan kepadaku.”
Sampailah aku ditaman tempat biasa kita janjian bertemu bersama.
“Dimana...?” smsku untuknya.
“Aku tunggu di depan air mancur. CEPET...!” balasnya dengan segera.
“Iya.” Balasku lagi dengan singkat. Dan aku segera menyusul Tama.
Setelah sampai depan air mancur, aku tak melihat kejadian apa-apa disana. Tak ada adegan panas, tak ada kerumunan orang, dan tak ada siapa-siapa. Hanya ada Tama yang duduk diatas tikar sambil melambai-lambaikan tangannya. Sejurus kemudian aku langsung berlari menemuinya.
“Mana pisau..?” tiba-tiba dia menanyakannya.
“Buat apa sih...? kalau kamu marah, gak usah main pisau dong Tama. Bahaya tau`, aku masih mau hidup lama sama kamu.” Terocosku kepada Tama, sambil duduk disebelahnya.
“Halah, siapa yang marah-marah sih..? aku cuma lagi butuh pisau. Kamu lihat ini...?” Tunjuk tama ke salah satu buah duren didekatnya.
“Astaga, jadi...?” ekspresiku mulai manyun.
“Hahaha, makanya jangan kencan sama tugas kuliah aja. Aku cemburu tau`, aku kan sayang kamu Keila.” Tawa puasnya sambil mencubit pipi tembemku.
“Aaaaaaa TAMAAAA...!” emosiku sambil memukul lirih pundak pacarku satu-satunya.
“Udah ah, mana pisaunya..! kita buka durennya terus kita makan sama-sama buahnya. Khusus buat kamu ini sayaang.”
“Halah gombal.” Aku segera mengambil pisau yang aku simpan di tas merah jambuku. “Nih...!”
Akhirnya malam itu menjadi malam ter-romantis dalam satu minggu yang pernah aku lalui. Uups, setiap satu minggu sekali sepertinya Aku dan Tama selalu mengukir cerita romantis bersama. Untuk cinta dan untuk kita berdua. Terima kasih untuk masa terindah yang telah kamu berikan selama kita berdua bersama.
Kini aku merasakan denyut jantungku yang masih terukir namanya, desah nafasku yang masih menyebut namanya, dan otakku yang masih membayangkan cinta indah tentang diriya.
“Tama, aku masih membutuhkanmu. Kejahilanmu dan segala tingkahmu yang membuatku merasa hidup dengan cintamu. Untuk cinta, bangun sayang bangun...!” kini teriakanku semakin menjadi ketika Tama benar-benar tak mau menggerakkan tubuhnya lagi.
Sepertinya Tuhan memang lebih meyanyangi Tama dibandingkan aku yang saat ini menyayanginya. Sungguh Tama adalah satu-satunya lelaki yang mampu membuatku bertahan dalam malam kelam, sungguh Tama adalah lilin yang rela mengikis tubuhnya demi menerangi hatiku yang belum tentu rela mengikis tubuhku untuknya.
Teruntuk Tama “Terima kasih untuk segala rasa indah yang pernah kamu ukir dalam relung jiwaku. Semoga bahagiamu adalah bersama Tuhan yang selalu mengulurkan tangan terbukaNya untukmu. Aku mencintaimu.” Keila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar