Ketika rahasia
hati tak bisa diungkap oleh tabir kehidupan, mungkin hanya rasa pilu dan sesal yang
akan meyeruak dalam benak manusia itu. seperti aku, karna cintaku yang takkan
pernah sempat ku ucapkan meski geliat hati ingin segera mengutarakan rasaku
untuknya. Yang kutahu dia hanya mendekatiku, dan yang kutahu aku hanya sebatas
sahabat dimana tempat dia mengeluhkan kesah tentang hidupnya.
Sebut saja namanya Awan, hampir 2
tahun aku mengenalnya. Dan selama itu pula perasaan ini terpendam untuknya.
Jika ditanya seberapa hebat perasaan ini untuknya, maka aku akan menjawab
“sehebat matahari yang setia pada paginya” karena meski malam selalu
menghampiri kita, masih ada esok pagi yang akan mencerahkan kembali dunia kita
berdua.
Menjalani
kehidupan menuju kedewasaan yang tak mudah, terkadang membuat kita saling terobsesi
dengan keegoisan masing-masing. Kamu dengan duniamu, dan aku dengan duniaku.
Meskipun terkadang aku masih sering memperhatikan langkahmu, ini semua karena
rasaku untukmu.
Aku
tahu semua cerita konyol tentangmu, tentang awal perjuanganmu menapaki jalan
terjal yang sering membuatmu terjatuh. Hingga tentang cintamu, aku tahu pernah
dengan siapa saja hatimu berpijak. Maaf kalau aku terlalu mengurusi jalan
hidupmu, tapi kedekatan ini yang membuatmu tak pernah sadar bila aku
mendengarkan semua cerita itu.
Kamupun
seperti itu, mengetahui semua yang pernah terjadi dalam hidupku, cintaku, juga
semua inginku tentang masa depan yang telah aku ukir sejak lama. Bahkan
kedekatanku saat ini dengan Adi, sosok pria yang diidamkan oleh para wanita
diluaran sana karena kemapanannya. Dan aku menceritakan ini karenamu.
“Udah
Din, kamu cepet jadian sama Adi aja deh. Hidupmu pasti bakal bahagia kalo` sama
dia.”
“Kenapa
seperti itu Wan..?”
“Lihat
aja pekerjaannya, seorang pengusaha muda, sukses pula. Banyak wanita diluar
sana menginginkan sosok seperti itu untuk jadi pacarnya. hidupmu bakal
terjamin, dan gak akan ada yang berani deketin kamu lagi sebagai permainan
cinta mereka. Coba bandingin aja sama aku, hmmm... gak akan ada apa-apanya.”
“Terus
kalo` aku pilih kamu gimana...?” jawabku dengan mata serius.
“emm,
to tuiiit deh. Jadian yuk..!” balasnya dengan ekspresi sok imutnya.
Aku
tak pernah tahu apakah yang dia katakan itu benar adanya, tapi yang aku tahu
aku mengatakan itu dengan benar adaku. Hmmm. Mungkin dia hanya sebatas
menganggap itu hanya sebagai guyonanku yang tak pernah menjurus kearah
seriusan. Andaikan dia tahu, rasaku menjadi benar adanya karena kebiasaanku
mengutarakan guyonan cinta untuknya.
“Diana,
bahagiamu itu aku.”
“Hah..?
maksudnya...?” tanyaku yang tak tahu artinya.
“Percaya
deh, kalau kamu bahagia akupun bisa merasakannya.”
“Waduuuh,
pura-pura mati.” Gayaku sambil berpura-pura mati dengan menyandarkan kepalaku
dipundaknya.
Dalam
benakku saat itu adalah bagaimana bisa aku memilih orang lain, sedangkan sudah
terlihat jelas kini disampingku telah berada sosok yang siap menenangkanku ketika
kekalutan melanda, dan mengusap air mataku ketika kepahitan siap merobek
ketenangan jiwa. Masih bersandar aku dipundak Awan, berharap ini bukanlah
hiasan mimpi yang tak pernah ingin aku terbangun darinya.
Pernahkah kamu sejenak untuk
memikirkan aku yang sedari dulu tak pernah beranjak dari posisi ternyaman ini?
yah, aku telah merasakan kenyamanan karena berada disamping kirimu. Aku ingin
kamu juga merasakannya. Sejak aku berada dalam peluk angin yang meniupkan
hembusan namamu dihatiku. Hingga dahanpun ikut menari melihat kenyamanan ini
yang telah berhasil kamu singgahkan dalam diriku. Karena aku telah terbiasa
dengan kamu yang selalu ada dalam titian hidup yang kujalani, dan kamu yang
mampu memapahku ketika kudapati terjalnya jalanku menuju indah kehidupan
mendatangku.
Ketika kamu mengungkapkan segala
cinta untukku, gejolak hati seakan berirama dan menyanyikan lagu terindah
untukmu. Namun yang aku tanyakan saat itu “apa ini benar dari hatimu?” meski
yang aku tahukamu bukanlah tipe manusia yang senang menggembar-gemborkan kata
cinta untuk setiap insan yang ada di dunia, tapi aku masih bertanya “akankah
ini benar rasa yang berbeda?.”
Yang kusesalkan, mengapa rasa ini
hadir ketika aku mulai meyakinkan hatiku untuk menunggu kepastian dari Adi.
Yang kusesalkan, mengapa rasa ini baru hadir setelah sekian lama aku
mengenalmu. Dilema yang kurasa seakan tak mau beranjak dari dalam diriku,
karena rasa ini semakin hari semakin menjadi gejolak cinta yang tak mungkin
bisa aku membohongi rasaku sendiri. Aku menunggu Adi, tapi cinta menunggumu
diujung sinar yang akan membawaku dalam kepastian bahagia.
Ketika kamu berkata “bahagiamu aku” hatikupun
juga berkata “bahagiaku adalah kamu.” Yang menjadi satu alasanku untuk tetap
semangat ketika rasa sakit datang menerpaku adalah “kamu.” Karena denganmu
rasaku terbalaskan, dan karena hadirmu seluruh nafasku menjadi hembusan cinta
yang tak pernah rela kulepaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar